Cinta Kasih yang Dilampiaskan Secara Diam-Diam dengan Ibu Vivi
– Kejadian ini kira-kira seminggu yang lalu. Aku bekerja di bagian EDP
sebuah perusahaan swasta di daerah Kuningan, Jakarta. Untuk sambilan aku
juga punya usaha kursus private komputer. Siang itu Ibu Vivi, salah
satu klien telepon.
Katanya dia belum tahu juga cara
mengirim e-mail. Maklum baru sekali aku mengajarinya. Dari pembicaraan
disetujui untuk ketemu jam 7 malam. Karena dia sampai rumah jam 6 sore.
Dia kerja jadi interpreter bahasa Jepang. Jam 18.45 aku sudah sampai di
Lobby Apartemen-nya di bilangan Benhil.
Tidak lama dia nongol di Lobby dengan
masih memakai pakaian kerjanya, dan segera mengajak saya naik ke
Apartemennya. Tanpa ganti baju, dia langsung ke meja komputernya dan
menghidupkannya. Tidak lama masalahnya beres, e-mailnya bisa terkirim
semua. Dia cuma lupa tidak clik “send & receive”.
Kemudian dia minta diajari browsing
memakai Explorer. Berhubung dia jarang memakai komputer, maka dia
terlihat kaku cara memegang mouse-nya. Entah apa sebabnya aku bermaksud
memberinya contoh, eh tangan dia masih memegang mouse. Yah tangannya
keremas oleh tanganku yang kekar dan keras.
Aduh…, halus juga tangan Ibu Vivi. aku
buru-buru menarik tanganku, tidak enak takut dikatakan kurang ajar.
Suaminya adalah teman bosku. Kalau dilaporkan bisa-bisa aku dipecat. Dia
melepaskan mouse, dan gantian aku yang memegang mouse-nya sambil
memberitahu dia tentang perbedaan bentuk kursor.
Aku belum menyuruhnya mencoba, eh…
tangannya langsung memegang mouse yang masih aku pegang. Yah tahu
sendiri kan tanganku yang dia pegang. Aku ingin melepaskan tapi sayang
karena halus sekali telapaknya. Dan bau parfumnya juga lembut, membuatku
betah di dekatnya. Aku biarkan saja. Aku pikir dia akan melepaskan
tanganku, eh.. ternyata tidak lepas juga tanganku dari genggamannya.
Malah tanganku dielus-elus dengan cinta kasih yg lembut. Maklum tanganku
bulunya juga lumayan lebat.
Aku beranikan diri untuk menegurnya,
“Ibu…, sebentar lagi Bapak pulang…”. Belum sempat berkata banyak, jari
telunjuk tangan satunya diletakkan di depan bibir sambil, “psst…”, dan
kata dia, “Hari ini dia ke bini tuanya…”. Aduh rejeki nomplok nih,
kataku dalam hati. Tapi aku pura-pura tidak berminat. Meski dalam hati
sudah suka sekali.
Tanganku yang masih memegang mouse masih
di elus. Kebetulan aku duduk di sebelah kanannya, jadi tangan kiriku
bebas. Dan lagi kursinya tidak memakai tangan-tangan. Makin nikmat saja.
Tangan kirinya mengelus tangan kiriku dan diangkatnya, dan ditaruh di
atas pahanya yang putih dan mulus. Meski dia tidak memakai rok mini,
tapi karena duduk, ketarik juga ke atas. Roknya yang biru tua menambah
kontrasnya warna.
Setelah meletakkan tanganku, tangan Ibu
Vivi bergerak lagi ke tengkukku, dan dielusnya. Wow.., kini makin panas
badanku. Secara refleks tanganku juga membalas aksinya, dan kuelus
pahanya pelan-pelan. Makin lama makin ke atas menuju pangkalnya. Roknya
pun makin tersibak ke atas terdorong tanganku. Makin ke atas makin
mulus. Kuusap pangkal pahanya dan matanya mulai nanar.
Ibu Vivi sebenarnya biasa saja, tidak
terlalu istimewa. Tingginya juga tidak sampai 160 cm. Kalau berdiri dia
tidak lebih tinggi dari pundakku. Cuma body-nya sungguh menggiurkan dan
kulitnya juga putih mulus. Maklum dia masih keturunan Chinesse. Kasihan
dia, cuma jadi istri muda. Jadi jatah batinnya tidak terima full.
Padahal usianya belum sampai 30 th, hampir sebaya aku.
Kini tanganku sudah hilang di dalam rok
kerjanya, mengusap-usap pangkal pahanya. Kemudian dia berdiri di depanku
yang masih duduk. Lalu kancing bajunya dibuka semua. Tapi bajunya tidak
dilepas. Dia tarik tanganku, dipindahkannya ke pinggangnya.
Kaus dalamnya kuangkat, dan perutnya
yang putih bersih pun terpampang di depanku. Kuciumi perutnya dan
sekeliling pusarnya kujilati. Dia menggelinjang kegelian. Kedua
tangannya mengacak-acak rambutku dan kadang kala dijambaknya.
Baju dan kaus dalamnya sudah lepas dari
roknya. Kaus dalamnya kuangkat lebih ke atas, dan tampak BH-nya
menyangga bukit yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil.
Pokoknya bentuknya bagus dan ukurannya pas. Dan tentu saja halus.
Kebetulan kancing BH-nya di depan, jadi tanpa usaha lebih keras aku
sudah bisa melepas BH-nya. Bukit kembarnya tersaji jelas di depanku.
Sedikit kendor, tapi masih oke.
Aku sambut salah satu putingnya yang
berwarna coklat muda dengan bibir dan lidah. Sementara tangan kananku
melintir putingnya yang satu lagi. Seperti mencari gelombang radio.
Betul juga…, tidak beberapa lama terdengar desis seperti gelombang FM
stereo. Tanganku yang satu lagi menyusup ke dalam roknya dan
meremas-remas pantatnya yang juga sudah agak turun. Maklum lah sudah
hampir 30 th umurnya.
Tangan Ibu Vivi (Oh ya aku tetap panggil
dia Ibu karena dia customerku) yang satu lagi sudah pindah aktivitasnya
ke selangkanganku. Penisku yang sudah tegang tampak jelas menonjol dari
balik celanaku. Itu yang menjadi sasaran aktvitasnya. Bahkan zipperku
sudah dia turunkan, jadi tampak jelas ujung moncong meriamku dari balik
celana dalamku.
Karena dielus terus penisku bertambah
panjang sampai ukuran maksimalnya. Kira-kira 2 centimeter di bawah
pusar. Tangannya pun sudah masuk ke dalam CD-ku dan mulai
mengocok-ngocoknya. Akhirnya ujung penisku keluar dengan sendirinya dari
balik CD-ku.
Akupun tidak mau kalah, tanganku yang di
pantatnya, aku pindah aktivitasnya ke sela-sela pahanya. Dari CD-nya
sudah terasa kalau vaginanya sudah basah. Aku tarik sedikit CD-nya ke
bawah, dan dengan sedikit digeser ke samping, aku sudah bisa memegang
belahannya. Lalu kuusap-usap dengan cinta kasih jari tengahnya.
Sementara desis FM stereonya makin keras terdengar, “Ssst…, uuhh…, uhh…,
ssst”.
Dengan dibantu jari telunjuk, aku pegang
clitorisnya yang kebetulan agak panjang dan kupilin nakal. Gerakan
badan Ibu Vivi makin keras dan kepalanya sering ditarik ke belakang.
Badannya bergetar. Suaranya makin seru, untung di apartemen, jadi tdak
terlalu gaduh karena jauh dari tetangga.
“Yan…, lepasin celanaku…, aku sudah
nggak tahan”, bisik Ibu Vivi. Dengan patuh secara cinta kasih aku penuhi
permintaannya. Sementara tangannya sibuk melepas sabukku dan
memelorotkan celanaku serta CD-ku sekaligus hingga lutut. Dia agak
terkejut melihat penisku.
“Kamu punya ukuran boleh juga…, dari
pertama kamu ke sini sudah kuperhatikan, makanya aku pingin”, katanya
setengah sadar setengah terdengar.
Sementara CD-nya sudah tergeletak di
lantai. Aku masih duduk di kursi tanpa sandaran tangan. Kuangkat roknya
dan aku cium pahanya. Bahkan aku sempat kasih tanda merah di kedua
pangkal pahanya. Dia sudah tidak sabar lagi, tanpa memberiku kesempatan
untuk melepaskan celana secara sempurna, dia sudah memegang ujung
penisku dan dibimbingnya menuju lubangnya yang basah dan hangat. Serta
berbulu sedikit pada bagian atasnya saja.
Pelahan tapi pasti Ibu Vivi menurunkan
pantatnya, “Blesss”. Matanya terbelalak merasakan batang penisku
menyusup dengan hangat ke lubang vaginanya. Rupanya basahnya sudah
sempurna hingga tanpa kesulitan sudah ¾ batang penisku masuk ke
vaginanya. Tapi berhenti sampai di situ saja, tidak di terusin lagi.
“yan…, batang penismu panjang betul”,
katanya sambil mulai menaik-turunkan pantatnya. Sementara aku
menenangikan pikiran, ambil napas, dan kosentrasi ke tempat lain. Biar
customerku puas duluan. Aku coba memperhatikan TV yang sedang menyiarkan
sinetron. Jadi konsentrasiku tidak tertuju pada penisku yang sedang
dikerjai habis-habisan oleh Ibu Vivi.
Naik turun, digoyang ke kiri dan ke
kanan, diputar. Entah diapain lagi. Eh…, bener tidak lama badannya
terasa bergetar lalu melenguh seperti sapi…, uhh…, yang lebih keras dari
sebelumnya dan tiba-tiba memelukku kencang sekali dan jarinya meremas
punggungku.
Untung aku masih memakai baju. Kalau
tidak, bisa-bisa kuku Ibu Vivi menancap di punggungku. Keringatnya
menetes ke baju kerjanya yang belum sempat dilepas, terlihat makin
cantik dengan tetesan keringat di rambut dan keningnya.
Sementara biji pelirku juga terasa basah oleh cairan dari vaginanya.
“Uggghh…, gila, nikmat sekali”, katanya.
“Ibu terusin aja”, aku nimpali.
“Ah…, panggil Vivi aja, entar aku lemas banget”, jawabnya.
“Ibu terusin aja”, aku nimpali.
“Ah…, panggil Vivi aja, entar aku lemas banget”, jawabnya.
Batang penisku juga sudah terasa
kesemutan, mau menumpahkan muatannya. Tapi aku tahan dulu. Kuangkat
kedua kakinya di belakang lututnya dengan kedua tangan, sehingga seperti
digendong. Tapi batang penisku masih menancap di lubang vaginanya. Lalu
aku jalan menuju tembok dan aku rapatkan badannya ke tembok dengan
tetap kugendong.
Bagiku tidak ada masalah mengangkatnya.
Tidak percuma aku hobby olah raga. Lalu aku mulai menggoyang pinggangku
maju mundur, goyang kiri, goyang kanan. Matanya sebentar-sebentar
terpejam, sebentar kemudian terbuka lebar.
Sisa air yang dia keluarkan tadi
menimbulkan irama yang teratur seirama dengan goyangan pantatku. Tidak
lama dia keluarkan lagi muatan dari dalam vaginanya. Suara erangannya
lebih seru dari yang pertama. Leherku dipeluknya kencang, didekap ke
dadanya, disela-sela bukit.
“Yan, kamu sudah nyampe belum?”, tanyanya setelah berhasil mengatur nafasnya.
“Hampir Bu”.
“Turunin aku dulu”, tanpa mengiyakan, aku turunkan tubuhnya lalu melangkah ke meja tamu mengambil tisue.
“Hampir Bu”.
“Turunin aku dulu”, tanpa mengiyakan, aku turunkan tubuhnya lalu melangkah ke meja tamu mengambil tisue.
Dia memasukkan tangannya ke dalam roknya
dan dia mengelap vaginanya yang basah kuyup. Sementara batang penisku
berdenyut-denyut semakin keras pertanda muatannya minta dibongkar.
Secara cinta kasih dengan tidak sabar aku ikuti Ibu Vivi ke ruang tamu,
dan dari belakang aku peluk dia.
Lalu aku minta dia menunduk dengan kaki
mengangkang. Lalu aku naikkan rok kerjanya hingga pantatnya yang putih
kemerahan dan vaginanya yang putih kemerahan dengan bulu yang tipis
tampak menantang untuk dijamah. Dengan bepegangan pada sandaran tangan
kursi tamu.
Dia menikmati lagi sentuhanku. Kali ini
yang bekerja lidahku. Aku jilat sedikit clitorisnya dan di jilati agar
basah lagi. Tidak sampai dua menit sudah tampak ada cairan bening lagi
di vaginanya. Maklum lampunya tidak dimatikan dan terang lagi. Jadi
detailnya kelihatan jelas. Aku akhiri kegiatan jilat menjilat, karena
muatanku sudah meronta minta dikeluarin.
Lalu aku masukkan lagi dari belakang
penisku ke vaginanya. Dia mendesis lagi demikian juga aku. Hangat dan
lembab. Lalu aku mulai goyang kiri kanan, kadang-kadang aku putar.
Sementara aku makin berat menahan muatanku, aku tanya dia, “Bu boleh
keluari di dalam…”.
“Boleh, emang sudah hampir..”.
“Ya”.
“Kita sama-sama ya”.
“Ya”.
“Kita sama-sama ya”.
Aku goyang terus sampai aku merasa
sangat nikmat karena muatanku sudah sampai di dekat pintu. Lalu kupeleuk
dia dari belakang sambil aku remes dadanya. Dan, “cret…, cret…, cret”,
air maniku muncrat di dalam lubang vaginanya.
Dan Ibu Vivi pun merintih lalu
mencengkeram tangan-tangan kursi dengan erat serta badannya bergetar dan
menegang. Rupanya dia klimaks juga. Dengan penisku dan vaginanya masih
bersatu aku tetap memeluknya dari belakang.
“Thanks Yan…, kamu sangat hebat. Kamu telah memberiku kenikmatan seks yang tiada”.
Cuma kujawab, “Ibu juga hebat”.
Cuma kujawab, “Ibu juga hebat”.
Tiba-tiba aku merasa ada cairan hangat
meleleh dari vaginanya, dan jatuh ke lantai. Rupanya air maniku dan air
kenikmatannya bercampur jadi satu dan jatuh. Lalu aku cabut penisku yang
sudah lemas dan “pluk” suaranya seperti botol sampanye dibuka. Dengan
rok kerja yang masih terangkat dan dipeganginya, dia berbalik ke arahku
dengan memperlihatkan bulu kemaluannya yang tipis dan tersenyum.
Tidak lama dari vaginanya jatuh lagi
campuran maniku dan air kenikmatannya di lantai dan kali ini lebih
banyak. Ada juga yang meleleh di pahanya yang mulus. Rupanya dia
menikmati betul air maniku. saat aku mau membersihkan dengan tisue, eh
dia melarangnya.
“Biarin aja, aku ingin menikmatinya”.
Wah, erotis juga nih orang. Rupanyanya
dia belum pernah merasakan klimaks sebelumnya. Hal itu aku tahu saat dia
mengantarkanku turun ke lobby. Katanya, suaminya paling lama tahan cuma
3 menit. Dia kawin karena suka sama duitnya. Maklum teman bosku
bisnisnya lumayan maju, eksportir hasil bumi yang tidak terkena dampak
turunnya nilai rupiah terhadap dollar.
Di lift sekali lagi dia bilang thank
you, dan dia berharap komputernya sering rusak. Sejak saat itu
terjalinlah cinta kasih yang dilampiaskan secara sembunyi-sembunyi
antara aku dengan Ibu Vivi. END..
AGEN JUDI TOGEL ONLINE TERPERCAYA !!!
DAFTAR : https://goo.gl/cQR4Rd
web daftar poker https://goo.gl/ZFiLzw